Sengketa Wilayah
Sipadan & Ligitan
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo yaitu berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Namun pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia yaitu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Adapun pokok-pokok keputusan ICJ terhadap kasus tersebut adalah sebagai berikut.
Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional
1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
4. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulai Sipadan dan Pulau Lingitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara- juga tidak memasukkan Sipadan-Lingitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Berkaitan dengan pembuktian efektivitas Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
1. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
2. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
3. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
4. Pembangunan dan pemeliharaan mercu suar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan.
Keputusan ICJ terhadap kasus sengketa pulau sipadan dan ligitan yang kemudian dimenangkan oleh pihak pemerintah malaysia patut disayangkan, hal ini karena keputusan ini memiliki dampak yang negatif terhadap pemerintah indonesia meisalnya :
A.Dampak pertama yang kemungkinan tidak akan disadari oleh pemerintah adalah dampak Psikologi pengaruh terhadap keputusan ICJ atas kasus Sipadan-Ligitan terhadap kepulauan dan wilayah Indonesia, Malaysia merasa pernah memenangkan kasus pulau sebelumnya sehingga Malaysia mencoba untuk merebut lagi pulau-pulau dan wilayah Indonesia.
B. Selanjutnya berubahnya konfigurasi garis pangkal Indonesia dan Malaysia Garis pangkal Indonesia kini tidak lagi menggunakan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal sehingga zona laut yang bisa diklaim akan berubah dan cenderung menyempit.
C.Indonesia harus melakukan perubahan posisi garis pangkal kepulauannya yang sebelumnya telah diatur dalam hukum nasionalnya Perubahan ini menyangkut posisi batas laut wilayah, batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif.
D. sebaliknya Malaysia menggunakan kedua pulau tersebut sebagai titik pangkal yang konsekuensinya adalah wilayah laut yang bisa diklaim akan melebar ke bagian selatan. Ini juga yang memperkuat klaim Malaysia terhadap ambalat yang akan berdampak lagi lepasnya pulau tersebut.
Hal semacam ini harusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah Indonesia terkait dengan penanganan dan pertanggung jawaban pulau-pulau yang dimiliki, tidak menutup kemungkinan beberapa tahun kedepan semua pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia yang selama ini menjadi landasan penarikan garis pangkal akan menjadi milik negara-negara tetangga yang memenangkan perebutan.
Pemerintah seharusnya peka dan gesit terhadap hal ini, karena menyangkut kesatuan negara republik Indonesia.
Oleh : La Shayd Shabyq
Diposkan oleh Sha_yd di 19:23 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Selasa, 08 Mei 2012
AAUPB/AAUPL
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG LAYAK
A. sejarah AAUPB/AAUPL
Sejak dianutnya konsepsi welfare staat dan menimbulkan adanya kekuasaan freies Ermessen, timbulah suatu kekhawatiran dari warga Negara atas terjadinya kesewenang-wenangan oleh pemerintah. Oleh karena itu pada tahun 1946 pemerintah belanda membuat suatu komisi yang diketuai oleh De Monchy, Komisi ini selanjutnya disebut dengan komisi de Monchy.
Komisi ini bertujuan untuk memikirkan dan meneliti beberapa alternative untuk meningkatkan perlindungan hukum dari tindakan pemerintah yang menyimpang. Pada tahun 1950 komisi De Monchy kemudian melaporkan hasil penelitiannya tentang ‘ verhoodgde rechtsbescherming’ dalam bentuk algemene beginselen van behorlijk bestuur atau dapat disebut AAUPL. Hasil penelitian komisi ini tidak seluruhnya disetujui pemerintah oleh karena itu komisi ini pada akhirnya dibubarkan dan dibentuk komisi yang baru, komisi ini bernama komisi van de Greenten dan komisi ini pun pada akhirnya dibubarkan juga.
Dibubarkannya ke dua komisi diatas disebabkan karena pemerintah belanda sendiri pada waktu itu tidak sepenuh hati dalam upaya meningkatkan perlindungan hukum warga negaranya. Meskipun demikian ternyata hasil penelitian De Monchy ini digunakan dalam pertimbangan putusan-putusan Raad van State dalam perkara administrasi. Dengan kata lain walaupun AAUPL ini tidak mudah dalam memasuki wilayah birokrasi tetapi lain halnya dalam bidang peradilan.
B. pengertian AAUPB/AAUPL
Pemahaman mengenai AAUPB/AAUPL ini tidak hanya dapat dilihat dari segi kebahasaan saja tetapi juga dari sejarahnya hal ini disebabkan kerena azas ini timbul dari sejarah juga. Dengan bersandar pada kedua konteks ini,
AAUPB/AAUPL dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan dasar dan tatacara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak,
yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan menjadi baik, sopan , adil, dan terhormat, bebas dari kesaliman, pelanggaran peraturan tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.
C. fungsi dan arti penting AAUPB/AAUPL
Selain itu Jazim Hamidi juga memberikan definisi AAUPB dari hasil penelitiannya yaitu:
a. AAUPL merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum administrasi Negara
b. AAUPL berfungsi sebagai pegangan bagi paras pejabat administrasi Negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi Negara (yang berwujud penetapan/beschikking) dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat.
c. Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan di masyarakat
d. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif.
D. AAUPB/ AAUPL di indonesia
Pada mulanya keberadaan AAUPB/AAUPL ini di Indonesia diakui secara yuridis formal sehingga belum memiliki kekuatan hukum formal. Ketika pembahasan RUU No. 5 Tahun 1986 di DPR, fraksi ABRI mengusulkan agar asas-asas itu dimasukan sebagai salah satu gugatan terhadap keputusan badan/pejabat tata usaha Negara. Akan tetapiputusan ini ditolak oleh pemerintah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail selaku selaku Menteri Kehakiman saat itu. Alasan tersebut adalah sbb:
“Menurut hemat kami, dalam praktik ketatanegaraan kita maupun dalam Hukum Tata Usaha Neagara yang berlaku di Indonesia, kita belum mempunyai criteria tentang algemene beginselen van behoorlijk bestuur tersebut yang berasal dari negeri Belanda. Pada waktu ini kita belum memiliki tradisi administrasi yang kuat mengakar seperti halnya di negara-negara continental tersebut. Tradisi demikian bisa dikembangkan melalui yurisprudensi yang kemudian akan menimbulkan norma-norma. Secara umum prinsip dari Hukum Tata Usaha Negara kita selalu dikaitkan dengan aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang konkretisasi normanya maupun pengertiannya masih sangat luas sekali dan perlu dijabarkan melalui kasus-kasus yang konkret”
Selain itu tidak dicantumkannya AAUPB/AAUPL dalam UU PTUN bukan berarti eksistensinya tidak diakui sama sekali, karena seperti yang terjadi di belanda AAUPB/AAUPL ini diterapkan dalam praktik peradilan terutama dalam PTUN.
E. Asas-asas dalam AAUPL
Kepustakaan berbahasa Indonesia belum banyak membahas asas ini dan kalaupun ada pembahasan itupun hampir sama karena sumbernya terbatas. Prof. Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya yang berjudul ‘Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara’ mengetengahkan 13 asas yaitu:
1. Asas kepastian hukum
Asas kepastian hukum, memiliki dua aspek yaitu aspek hukum material dan aspek hukum formal. Dalam aspek hukum material terkait dengan asas kepercayaan. asas kepastian hukum menghalangi penarikan kembali/perubahan ketetapan. Asas ini menghormati hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah sedangkan aspek hukum formal, memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dng tepat apa yang dikehendaki suatu ketetapan.
2. asas keseimbangan
Asas Keseimbangan, asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan pegawai dan adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan.
3. Asas kesamaan
Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan, asas ini menghendaki badan pemerintahan
mengambil tindakan yang sama (dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama. Asas ini memaksa pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan. Aturan kebijaksanaan, memberi arah pada pelaksanaan wewenang bebas.
4. Asas bertindak cermat
Asas Bertindak Cermat, asas ini menghendaki pemerintah bertindak cermat dalam melakukan aktivitas penyelenggaraan tugas pemerintahan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. Dalam menerbitkan ketetapan, pemerintah harus mempertimbangkan secara cermat dan teliti semua faktor yang terkait dengan materi ketetapan, mendengar dan mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan, mempertimbangkan akibat hukum yang timbul dari ketetapan.
5. Asas motivasi untuk setiap putusan
Asas Motiasi untuk Keputusan, asas ini menghendaki setiap ketetapan harus mempunyai alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan ketetapan. Alasan harus jelas, terang, benar, obyektif, dan adil. Alasan sedapat mungkin tercantum dalam ketetapan sehingga yang tidak puas dapat mengajukan banding dengan menggunakan alasan tersebut. Alasan digunakan hakim administrasi untuk menilai ketetapan yang disengketakan.
6. Asas jangan mencampurkan adukan wewenang
Asas tidak Mencampuradukkan Kewenangan, di mana pejabat Tata Usaha Negara memiliki wewenang yang sudah ditentukan dalam perat perundang-undangan (baik dari segi materi, wilayah, waktu) untuk melakukan tindakan hukum dalam rangka melayani/mengatur warga negara. Asas ini menghendaki agar pejabat Tata Usaha Negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang yang melampaui batas.
7. Asas permainan yang layak
Asas Permainan yang Layak (Fair Play), asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatan untuk membela diri dengan memberikan argumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi. Asas ini menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara.
8. Asas keadilan atau kewajaran
Asas Keadilan dan Kewajaran, asas keadilan menuntut tindakan secara proposional, sesuai, seimbang, selaras dengan hak setiap orang. Asas kewajaran menekankan agar setiap aktivitas pemerintah memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, baik itu berkaitan dengan moral, adat istiadat.
9. Asas menanggapi penghargaan yang wajar
Asas Kepercayaan dan Menanggapi Penghargaan yang Wajar, asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak menguntungkan bagi pemerintah.
10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal
Asas Kepercayaan dan Menanggapi Penghargaan yang Wajar, asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak menguntungkan bagi pemerintah.
11. Asas perlindungan atas pandangan hidup
Asas Perlindungan atas Pandangan atau Cara Hidup Pribadi, asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap pegawai negeri dan warga negara. Penerapan asas ini dikaitkan dengan sistem keyakinan, kesusilaan, dan norma-norma yang dijunjung tinggi masyarakat. Pandangan hidup seseorang tidak dapat digunakan ketika bertentangan dengan norma-norma suatu bangsa.
12. Asas kebijaksanaan
Asas Kebijaksanaan, asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada perat perundang-undangan formal.
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum
Penyelenggaraan Kepentingan Umum, asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Mengingat kelemahan asas legalitas.
pemerintah dapat bertindak atas dasar kebijaksanaan untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Adapun asas-asas umum lain adalah :
1. Kecepatan dalam menangani masalah atau memutuskan perkara;
2. obyektifitas dalam menilai kepentingan para fihak yang bersangkutan;
3. Penilaian yang seimbang antara kepentingan-kepentingan berbagai fihak yang terkait;
4. Kesamaan dalam memutus perkara atau menyelesaikan hal yang sama;
5. Keadilan (fair play);
6. Memberikan pertimbangan hukum yang benar, masuk akal dan adil;
7. Larangan untuk menyatakan suatu peraturan hukum atau ketentuan lain secara berlaku surut;
8. Tidak mengecewakan kepercayaan (trust) yang telah ditimbulkan oleh perilaku atau kata-kata yang diucapkan pejabat atau hakim;
9. Menjamin kepastian hokum;
10. Tidak melampaui kewenangan dan/atau menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk tujuan lain dari pada dasar atau sebab kewenangan itu diberikan.
Dalam perkembangannya, AAUPL/AAUPB memiliki arti penting dan fungsi berikut ini:
Bagi administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat sumir, samara atau tidak jelas. Selain itu, sekaligus membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara mempergunakan Freies Ermessen/melakukan kebijaksanaan yang jauh menyimpang dari ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian, administrasi negara diharapkan terhindar dari perbuatan onrechtmatige daad, detournement de pouvoir, abus de droit, dan ultavires.
Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, AAUPL/AAUPB dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 UU No.5/1986.
Bagi hakim TUN, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan ayau pejabat TUN.
Selain itu, AAUPL tersebut juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu undang-undang.
Berkenaan dengan ketetapan (beschikking), AAUPL/AAUPB terbagi dalam dua bagian, yaitu asas yang bersifat formal atau prosedural dan asas yang bersifat material atau substansial.
Menurut P.Nicolai, “Een onderscheid tussen procedurele en materiele beginselen van behoorlijk bestuur is relevant voor de rechtsbescherming“ (perbedaan antara asas-asas yang bersifat procedural dan material, AAUPL/AAUPB ini penting untuk perlindungan hukum). Asas yang bersifat formal berkenaan dengan prosedur yang harus dipenuhi dalam setiap pembuatan ketetapan, atau asas-asas yang berkaitan dengan cara-cara pengambilan keputusan seperti asas kecermatan, yang menuntut pemerintah untuk mengambil keputusan dengan persiapan yang cermat, dan asas permainan yang layak (fair play beginsel).
Menurut Indroharto, asas-asas yang bersifat formal yaitu asas-asas yang penting artinya dalam rangka mempersiapkan susunan dan motivasi dari suatu beschikking. Jadi, menyangkut segi lahiriah dari beschikking itu, yang meliputi asas-asas yang berkaitan dengan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan, dan asas-asas yang berkaitan dengan pertimbangan (motivering) serta susunan keputusan.
Asas-asas yang bersifat material tampak pada isi dari keputusan pemerintah. Termasuk kelompok asas yang bersifat material atau substansial ini adalah asas kepastian hukum, asas persamaan, asas larangan sewenang-wenang, larangan penyalahgunaan kewenangan.
Daftar Pustaka :
Himpunan Makalah Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik . 1994. PT. Citra Aditya bakti. Bandung
Oleh : La Shayd Shbyq
Diposkan oleh Sha_yd di 10:06 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Minerba Vs UUD 1945
UU No. 4 Tahun 2009 Vs UUD Pasal 33 Ayat (3)
Sebelum kita membahas tentang aktifitas pertambangan PT Freeport yang tidak memberikan manfaat banyak terhadap negara akibat dari ketidak pastian hukum, maka terlebih dahulu kita akan membahas tentang pertentangan-pertentangan muatan UU Minerba No. 4 tahun 2009 dengan Undang-Undang pasal 33 ayat 3 Tahun 1945.
Misalnya, Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 menetapkan bahwa, urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak menggolongkan urusan pemerintahan berkenaan dengan pertambangan, mineral dan batubara sebagai urusan pemerintahan pusat.
“ Pasal 1 angka 29, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sepanjang frasa “tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan” dalam hal penentuan wilayah pertambangan (WP), pada nyatanya melintasi dua kewenangan pemerintahan yang berbeda, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini bertentangan dengan prinsip pemerintahan desentralisasi”.
( kata HM Laica Marzuki saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan uji materi UU Minerba yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/4/2012).
“ frasa “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, berarti bahwa pengelolaan kekayaan alam tidak hanya wewenang pemerintah pusat saja, tetapi pemerintah daerah juga berhak mengelolanya, Tetapi Dalam UU Minerba, pengelolaan minerba tetap di tangan pemerintah pusat. Hal ini tidak sesuai dengan sistem desentralisasi yang menghendaki pemberian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.”( Prof. Dr. Muchsan, Selasa (3/4/2012)
Sementara itu, Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (3/4/2012), dalam keterangannya menyatakan, kata “seluas-luasnya” dalam ketentuan mengenai pemerintahan daerah dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, dapat dimaknai sebagai jaminan bahwa wewenang pemerintahan yang melekat pada daerah otonom tidak syogianya dilucuti dengan dalih apapun melalui penarikan kembali kewenangan dari daerah otonom ke pemerintahan pusat. “Kalau ada argumen yang merujuk Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang otoritas negara dalam menguasai ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’, sebagai alasan untuk membenarkan kebijakan resentralisasi atas sektor tambang, mineral dan batubara, karena pemerintah pusat dipandang sebagai satu-satunya institusi yang dapat bertindak atas nama negara, maka jelaslah bahwa argumen itu salah kaprah,”.
Lebih lanjut, aturan peralihan yang terdapat dalam pasal 169 UU Minerba sangat membingungkan. Dalam Pasal 169 huruf a disebutkan bahwa kontrak karya (“KK”) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (“PKP2B”) yang telah ada sebelum berlakunya UU Minerba, tetap diberlakukan sampai jangka waktu berkahirnya kontrak/perjanjian. Sedangkan dalam huruf b, disebutkan bahwa KK dan PKP2B selambat – lambatnya 1 (satu) tahun harus disesuaikan. Di satu sisi aturan ini dapat dipandang mengakui dan menghormati jangka waktu kontrak perjanjian. Tapi, di sisi lain, aturan ini memaksa para pihak untuk mengubah substansi kontrak. Untuk itu, akan ada negosiasi kontrak antara pemerintah dengan pengusaha tambang. Padahal, negosiasi kontrak tidaklah mudah.
Pengujian UU Minerba ini dimohonkan Bupati Kutai Timur Isran Noor yang menguji sejumlah pasal dalam UU Minerba yakni pasal 1 angka 29, angka 30, angka 31, pasal 6 ayat (1) huruf e, dan ayat (2). Ada lagi Pasal 10 huruf b dan c, pasal 11-19, termasuk penjelasan pasal 15.
Menurut Buapti Kutai, pasal-pasal tersebut mengakibatkan pihaknya tidak dapat mengurus dan mengatur penetapan wilayah pertambangan yang ada di wilayah pemohon sendiri yang mempengaruhi pendapat asli daerah.
Oleh : La Shayd Shabyq
Diposkan oleh Sha_yd di 07:48 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Makalah Freeport Indonesia
About PT Freeport *-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan salah satu negara didunia yang dapat dikatakan hampir sempurna secara geografis, betapa tidak dimana salah satu daerah indonesia disentuh/dilewati garis khatulistiwa. Dan juga letak geografisdan kondisi iklim tropis indonesia menjadikan negara ini penuh dengan hamparan tanaman hijau yang luas dan juga hamparanlautan yang indah dan terbentang membiru. Negara indonesia yang terdiri beberapa pulau dan suku bangsa yang berbeda menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi kaum wisatawan asingkhususnya untuk berlibur. Jelas ini merupakan asetnegara yang harus dijaga dan kita lesatarikan.
Bukan cuman dari sudut letaknya saja Negara ini diminati dan diagungkan, disamping keindahan negara yang diciptakan oleh lengkungan pantainya ternyata negara ini juga memiliki banyak sumber daya alam yang bahkan karena banyaknya sampai-sampai Indonesia dianulir sebagai negara Produsen penghasil Sumber daya alam persediaan Bumi di Masa depan, oleh karena itu berbagai usaha pemerintah untuk tetap menopang eksistensi dibidang Sumber Daya Alam terus dilakukan dari Masa ke masa, sebut saja misalnya produk-produk hukum yang memberikan batasan-batasan pengelolaan, menjoba menfokuskan peruntuhannya, memperketat pengawasan dan lain sebagainya. Dan itu dituangkan secara legal terkodifikasi dalm konstitusi negara kita yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
Salah satu aset kekayaan alam yang dimilki oleh indonesia adalah tambang besar yang ada dipulau ujung Timur Indonesia yaitu Papua,sebuah pertambnagan raksasa dan Sumber daya alam yang dihasilkannya adalah Tembaga, Emas, Silver, Molybdenum, Rhenium, tetapi Selama ini hasil bahan yang di tambang tidak jelas karena hasil tambang tersebut di kapalkan ke luar Indonesia untuk dimurnikan sedangkan molybdenum dan rhenium merupakan hasil sampingan dari pemrosesan bijih tembaga. Hal ini disebabkan oleh ketidak mampuan teknologi indonesia untuk memurnikan bahan tambang tersebut.
Bahkan tidak hanya sampai disitu saja kerugian indonesai akibat dari keterbatasan teknologi yang dimiliki, pertambangan ini bahkan dikelola oleh pihak asing dengan pembagian saham sebagai berikut :
• Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) - 81,28 % adalah salah satu produsen terbesar emas di dunia. Perusahaan Amerika ini memiliki beberapa anak perusahaan termasuk PT Freeport Indonesia, PT Irja Eastern Minerals and Atlantic Copper, S.A.
• Pemerintah Indonesia - 9,36%
• PT. Indocopper Investama - 9,36% adalah perusahaan tambang milik Group Bakrie.
Dari gambaran tentang pembagian saham, pemerintah indonesia hanya mendapat tidak lebih dari 10 %, hal ini sebenarnya masuk dalam kategori memprihatinkan, seharusnya keberadaan sumber daya alam harus diimbangi dengan perkembangan kemajuan teknologi yang memadai.
Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan pemerintah untuk tetap memainkan peranannya lebih mendalam lewat politik pengawasan dengan produk-produk aturan yang akan memebrikan batasan atau rambu-rambu sejauh mana pihak asing untuk berbuat terhadap sumber daya alam Indonesia. Misalnya terhadap Undang-Undang dasar Pasal 33 ayat 3 1945 tentang Sumber daya Alam, dan banyak lagi aturan Khusus yang mengatur tentang semua hal yang berkaitan dengan Sumber daya alam termakssud disini adalah Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Minerba yang akan kita bahas.
Akan tetapi, apakah usaha pemerintah tersebut sudah sesuai dengan harapan-harapan masyarakat indonesia pada umumnya. Hal inilah yang akan coba kami bahas kaitannya dengan semua usaha pemerintah untuk tetap pada jalur yang sesuai dengan bahasa undang-undang bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam termasuk di dalamnya air beserta kekayaan alam lainnya milik atau berada dalam wilayah teritori NKRI dikuasai, diatur, dikelola, dan didistribusikan oleh negara atau pemerintah dengan segenap lembaga pengelolanya untuk dipergunakan bagi memakmurkan atau mensejahterakan rakyat Indonesia seluruhnya.
B. Tujuan dan manfaat
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu, disamping melengkapi tugas yang diberikan kepada kelompok kami, makalah ini dibuat untuk mengetahui Kerugian Negara yang disebabkan oleh PT Freeport yang disebabkan oleh Faktor dari Internal Freeport itu sendiri (ketidak Patuhan) ataupun akibat Produk Kesepakatan yang berlandaskan kepentingan Politik, serta sanksi pidana yang diterapkan untuk hal itu.
Sedangkan manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu diharapkan dapat memberikan sidikit perbandingan pemikiran tentang mudarat yang dihasilkan oleh PT Freeport dan sanksi yang disiapkan oleh pemerintah untuk hal itu.
C. Rumusan Masalah
Adapun hal yang kemudian dianggap perlu untuk dibahas dalam makalah ini adalah yaitu :
a. Apa itu PT Freeport dan segala Atributnya ?
b. Apa inti dari isi Undang-Undang Minerba No. 4 tahun 2009 dan Pasal 33 ayat (3) 1945 ?
c. Apakah PT Freport menjalankan Aktifitas pertambangannya sesuai dengan UU No. 4 tahun 2009 dan sejalan dengan pasal 33 ayat (3) ?
Oleh : La Shayd Shabyq
Diposkan oleh Sha_yd di 07:27 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Minggu, 06 Mei 2012
Sejarah BW di Belanda
Sejaran Burgerlijk Wetboek di Belanda
Sebelum mengulas tentang sejarah perjalanan BW (hukum perdata) alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu mendeskripsikan sedikit tentang BW itu sendiri , Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini
Bw dapat didefinisikan secara Luas oleh para kalangan cendikiawan hukum sehingga terbagi menjadi dua pengertian yaitu :
1. Hukum perdata dalam arti luas adalah bahan hokum sebagaimana tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Kitab Undang-Undang hokum dagang (WVK) beserta sejumlah undang-undang yang disebut undang-undang tambahan lainnya.
2. Hokum perdata dalam arti sempit adalah hokum perdata sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Subekti mengatakan hokum Perdata dalam arti luas meliputi semua hokum privat materiil, yaitu segala hokum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. Hukum perdata adakalanya dipakai dalam arti sempit sebagai lawan hokum dagang
A. Sejaran Burgerlijk Wetboek di Belanda
Hingga abad pertengahan dinegeri ini sistemnya masih bercorak disentralisasi, belum menganut sistem pemerintahan yang sentralisir. Dan pada saat itu hukum yang berlaku masih barcorak yaitu : Hukum Romawi, hukum german, hukum gereja dan peraturan dari tiap-tiap provinsi. Sebagai akibat dari beragamnya hukum yang ada sehingga berkonsekuensi pada ketidak pastian hukum yang ada sehingga ahli hukum berinisiatif untuk melakukan perhimpunan hukum kedalam suatu kodifikasi yang jelas agar dapat diperoleh kepastian dan keseragaman hukum.
Pada tahun 1796, lembaga yang bernama National Vergadering atau sidang perwakilan nasional di Negeri belanda memutuskan untuk melakukan kodivikasi dibidang hukum perdata, tetapi usaha ini ternyata gagal disebabkan oleh beberapa faktor. Selanjutnya pada tahun 1814, datanglah Kemper yaitu seorang guru besar hukum di Belanda mengusulkan kepada pemerintahnya membuat kodivikasinya sendiri yang berisikan tentang hukum kuno belanda (romawi, germaan, konamik (gereja)). Atas prakarsaya sendiri kemudian Kemper menyusun sendiri draf undang-undang itu dan diusulkan pada raja belanda hingga tersepakati dengan nama Rancangan 1816, yang trediri dari tidak kurang dari 4000 pasal, artinya Dua kaliLipat dari BW yang sekarang.
Beberapa waktu kemudian sebagai akibat dari keputusan konvensi Wina negri belgia disatukan dengan negara belanda. Kemudian kemper menyrahkan rancangannya kepada panitia yang terdiri dari para ahli hukum belgia untuk dimintai pendapatnya, tetapi ternyata mereka menolak dengan alasan rumusannya terlalu luas dan tidak terperinci, panitia mengusulkan agar UU yang terdahulu tetap berlaku yaitu Code Napoleon sebagai dasar.
Tetapi kemper ini adalah seorang yg dikenal ulet, sehingga dia kembali mengusulkan rancangannya kepada raja willem I, Pada tahun 1820 raja willem 1 menyetujui usulan kemper yang sudah disesuaikan dengan keinginan para sarjanawan yang menolak tadi, tapi sialnya pada tahun1822 kembali ditolak oleh parlement. Hingga kembali dibentuk tim penyusun yang mempunya misi yang sama, dan dari tahun 1822 sampai 1829 hingga kemudian berhasil menyepakati Burgerlijk Wetboek pada tahun 1831 dengan keputusan raja pada 1 februari 1831. Pada saat yang bersamaan WvK (Wetboek Van Koophandel) yaitu kitap undang-undang hukum dagang , dan acara Perdata serta hukum acara Pidana disahkan Juga, sedangkan KUHP menysul beberapa waktu kemudian.semua kita tersebut ditulis dalam dua bahasa yaitu belanda dan prancis. Tetapi trenyata tidak semudah itu dan tidak berjalan sesuai dengan harapan, sewaktu semua kitap itu sudah akan di ACC, pecahlah pemberontakan dibagian selatan dibelanda dan akhirnya terpaksa ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan.
Selama pemberontakan berlansung, komisi diperintahkan untuk menelah kembali dan mengoreksi kesalhan-kesalahan yang ada. hingga pada tahun 1838 dengan surat keputusan raja 10 april 1838 yang dimuat dalam staatsblaad No. 12/1838 diundangkan semua kitap tersebut dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1838.
Hukum belanda yang telah terkodivikasi tersebut ternyata masih memiliki masalah internal, maupun eksternal seperti mendapat pengaruh dari hukum Romawi, Hukum prancis. Yang kemudian akan saya Posting dengan Tema yang berbeda .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar